Pengalaman adalah guru yang terbaik

Bismillahirrahmanirrahim
 Sudah dua kali ini aku mengisi kultum dan kajian putri di masjid tempat kerabatku tinggal. Ini pengalaman pertama aku berdakwah di alam bebas, alamnya orang-orang yang awwam sekali tentang din Islam –dari sini semakin aku merasa nikmat Allah begitu besar untukku; bahwa aku diberi kesempatan untuk mengerti Islam lebih dari mereka- . Sebelumnya, aku hanya mengajar di kalangan orang yang sudah terbiasa dengan sejuk Islam sesuai sunnah Rasulullah sas. . Aku menganggap semua ini adalah tantangan. Aku ingin bisa menyampaikan dakwah kepada orang-orang awam sehingga Islam ini bisa mereka terima secara kaffah tanpa bid’ah.
Di kultum ibu-ibu…
Mushalla itu tak begitu luas. Hanya sekitar 5×5 meteran. Di dalamnya ada ibu-ibu, sebagian mereka –tapi sedikit- remaja, dan anak kecil. Mereka dengan ramah menyambutku. Aku suka sekali berkumpul dengan orang-orang yang penuh keramahan. Bukan kemarahan. Karena dengan itu, aku bisa ketularan jadi ramah. Bukan ketularan jadi marah.
Waktu menyampaikan, alhamdulillah aku tidak grogi sedikit pun. Mungkin karena aku sudah terbiasa mengajar murid-muridku, terbiasa dipajang di depan orang banyak. Tak ada kendala. Semua berjalan baik dan menyenangkan. Ibu-ibu juga memahami apa yang aku sampaikan. Yah, memang kalau hanya kultum  dan yang hadir ibu-ibu yang sudah sepuh-sepuh, aku memilih materi tentang tazkiyatun nufus, seperti sabar dan syukur. Pertemuan kedua, mereka lebih antusias lagi karena yang ku bahas adalah tentang kullu nafsin dza`iqatul maut. Ku beri mereka permisalan-permisalan orang-orang yang meninggal tiba-tiba dan tak disangka-sangka…
Ya Allah, terima kasih atas nikmat ini… benar-benar ku rasakan nikmat karena Engkau telah memberikanku hal-hal yang tidak Engkau beri kepada hamba-Mu yang lain…
Tetapi ada yang membuat hatiku merasa prihatin. Semua orang yang ada di mushalla ini aku yakin mereka menginginkan ridha-Mu… tetapi mereka telah buta arah, telah keliru langkah…
Aku miris melihat shaf-shaf yang bolong-bolong… aku sedih melihat imam yang didahului makmum, aku tak tega melihat mereka melafalkan niat puasa bersama-sama dengan keras, lebih tak kuat lagi setelah melihat mereka membuka mukena mereka, karena mereka tak menutup aurat dengan sempurna…
Sedih sekali ketika mendengar mereka melafalkan lafal-lafal diantara shalat tarawih, lafal yang tak akan pernah mau aku ingat… karena Rasul tak pernah mencontohkannya..
Ya Rabb, Ya Rahman, Ya Rahim…
Kasihan mereka ya Allah… aku yakin mereka sebenarnya berniat baik, ingin mendekatkan diri kepada-Mu, ingin menggapai pahala yang besar dari-Mu… tetapi mereka salah langkah… mereka buta Al-Qur`an, buta hadits… buta tata cara Rasulullah sas. dalam beribadah…
Mohon Rabbi… tunjukkanlah mereka mana yang benar yang harus dijalani ya Allah ya Rabbi…. Amin ya Rabbal ‘alamin…
Di kajian putri…
Remaji-rermaji itu berpakaian ketat. Kerudungnya kecil. Bahkan sebagian mereka ada yang hanya memakai kudung slampiran. Hanya ada satu yang berbeda, yang penampilannya agak sama denganku.
Lalu ku lihat dan ku rasakan lagi bagaimana penampilanku… Ya Allah, sungguh nikmatnya memakai busana yang ku pakai ini… yang longgar, tidak ketat, yang menutupi seluruh auratku dengan sempurna. Aku kini baru sadar, bahwa kenikmatan-Mu akan sangat terasa bila kita menyadari banyak yang berbeda dengan kita… kenikmatan hidayah-Mu, Rabbi, adalah kenikmatan yang tak pernah ada tandingannya… Terimakasih dan segala puji hanya untuk-Mu, Rabbi, ku haturkan dengan segenap pengharapan supaya Engkau menjadikan aku orang yang selalu istiqamah dalam hidayah-Mu…
Alhamdulillah walau untuk yang pertama kali aku berhadapan dengan mereka, aku tak merasa grogi sedikit pun. Perkataanku lancar sesuai dengan materi yang sudah jadi rencana akan disampaikan. Tetapi, Allah Ta’ala menegurku dalam satu hal setelah mungkin aku melupakannya; ternyata aku lupa bahwa mereka adalah orang awam dan pengetahuannya tentang Islam sangatlah dangkal. Sehingga, menurut dua Ustadz yang jadi mitra dakwahku (satu dari dua orang itu adalah adikku sendiri), materinya terlalu tinggi untuk mereka tangkap dan aku harus menghentikan apa yang aku sampaikan. Sempat juga hati ini merasa tak enak karena materi yang aku sampaikan harus dipotong. Tetapi, aku tahu apa yang harus aku lakukan saat itu; diam, tetap tersenyum dan mentaatinya alias marahnya nanti… hee hee…
Aku hanya menyesalkan mengapa aku diingatkan di hadapan murid-murid… tetapi tak apalah… bukankah dakwah itu bukannya tanpa rintangan? Selalu saja ada rintangan. Baik itu dari dalam atau dari luar.
Bukankah Luqman Al-Hakim telah mewasiati putranya untuk amar ma’ruf nahi mungkar alias berdakwah lalu setelah itu ditambahi : DAN BERSABARLAH ATAS APA YANG MENIMPAMU? Jadi bisa ditarik kesimpulan, bahwa orang berdakwah itu pasti pernah diuji dengan kesusahan. Dan untuk itulah, kita musti bersabar.
Tapi waktu itu, tampaknya aku belum lulus jadi orang yang sabar, sebab –atas nama malu- air mata ini keluar berdemo dan protes atas sikap Ustadz tadi…
Itu pertemuan pertama. Pertemuan kedua, lumayan menyenangkan….

0 komentar:

Posting Komentar