BIARKAN AKU MEMILIH



Perasaannya hancur, runtuh seperti gedung-gedung di Palestina yang dibombardir oleh tentara Israel. Tapi aku harus bagaimana lagi, bukankah Tuhan telah memberiku kesempatan untuk memilih? Jadi jangan paksakan aku kepada sesuatu yang bukan menjadi pilihanku. Aku tahu kata-kataku ini semakin membuat dirinya hancur, berdiri pun rupanya dia sudah tak sanggup lagi. Linangan air matanya yang mengalir pun tak sanggup mengalirkan semua rasa yang berkecamuk dalam dirinya saat ini.
Dia mendongak, menatapku tajam. Lalu dia berkata, “Salahkah aku, jika perasaan cinta ini hanya untukmu?”
“Sungguh, kamu itu tidak bersalah. Tapi, yang salah adalah waktu, kenapa kita harus dipertemukan kembali setelah aku sudah menemukan penggantimu.”
Kembali perempuan yang dari tadi menangis di depanku mengangkat kepalanya, bola matanya terlihat tajam menatapku. Bola mata yang bundar dan memerah. Tak pernah aku melihat dia seperti sekarang ini. Dulu, aku begitu mengenal bola mata itu. Bola mata yang selalu memberiku inspirasi tentang kekuatan dan cinta yang terpancar di sana. Namun, hari ini aku sungguh buta dengan tatapan itu. Sungguh aku tak tahu menterjemahkan setiap guratan merah yang menyala-nyala bak kunang-kunang yang sedang mencari ruhnya yang terselip dalam lipatan-lipatan kecil peti mayat.
Pundaknya yang sedikit merendah berusaha kugapai, seraya mengelusnya lemah dan lembut. Suatu harapan yang ingin aku sampaikan lewat jemari lentik akan suatu cita yang sedang menunggu di langit-langit cinta. “Sudahlah, cinta tak selamanya memiliki. Kamu harus menerima apa yang menjadi kehendak dari-Nya.”
“Tapi,…” kata-katanya tertahan.
“Tapi kenapa? Bukankah kamu dulu yang mengatakan hal itu padaku.” Kembali aku teringat beberapa tahun yang silam, saat dia akan menikah dengan seorang lelaki lulusan sebuah universitas negeri di Makassar.
“Itu bukan kehendakku, kak! Dan biarkanlah aku berada dalam dekapanmu walau sesaat.” kembali ia menangis tersedu-sedu.
Melihat air matanya yang semakin deras mengalir, aku kehilangan konsentrasi. Aku larut dalam kesedihannya. Lalu rambutnya yang terurai indah kuremas, kepalanya pun jatuh dalam dadaku. Aku mendekapnya lembut. Kami berdua terdiam. Gemuruh ombak di depan kami pun terasa hilang, semuanya hening. Kulihat dari jauh matahari mulai jatuh ke kaki langit sebagai pertanda bahwa tidak lama lagi malam akan menyapa bersama dengan rembulan yang sabit tersenyum. Di sudut tempat kami duduk, terdapat beberapa perahu yang sedang ditambak sedang menunggu tuannya membawakan bahan bakar yang semakin langkah.
Dia masih dalam dekapanku, kurasakan kepalanya bergerak-gerak kemudian kembali meletakkan lembut dalam dadaku. Dia seperti anak kucing yang lagi bermanja-manja dengan ibunya karena merasa kedinginan. Aku menjadi serba salah, apalagi dia sekarang tertidur dalam dekapanku. Sungguh ada kedamaian yang merasuki jiwanya. Tapi haruskah aku membiarkan dia tidur dalam dekapanku, pada hal, di tempat lain seorang gadis desa sedang menantikan kehadiranku membacakan puisi untuknya.
Aku menyadari mereka berdua memang berbeda, yang satu adalah gadis kota dengan segala kemewahan yang dimiliki, sedangkan yang satunya lagi adalah gadis desa yang lugu dan bersahaja. Mungkinkah aku akan memiliki kedua-duanya. Tentunya suatu pilihan yang berat bagiku. Di tambah dengan diriku yang hanya seorang gelandangan yang mengandalkan keberuntungan untuk hidup di perantauan. Tuhan! Izinkanlah aku memilih? Teriakku dalam hati. Perempuan yang tertidur dalam dekapanku kembali bergerak. Mungkinkah dia mendengar teriakan hatiku?. Tangannya bergerak lemah menggenggam jemariku. Aku semakin bingung, aku tak mampu menentukan pilhan. Karena tidak mungkin aku meninggalkan dirinya yang sekarang sedang mengalami goncangan.
Seandainya saja suami yang dipilihkan ayahnya dulu bukan seorang peminum, mungkin dia akan berusaha untuk mencintainya. Tapi, kenyataan tidak berkata demikian. Sungguh dia sangat tersiksa karenanya. Tamparan dan makian adalah hal yang biasa dalam kesehariannya. Tapi, apakah aku harus menjadi pahlawan, dan membawanya lari dari kehidupannya yang begitu suram. Lalu bagaimana dengan gadis desa yang pernah aku janji untuk menikahinya sepulang dari merantau?.
Uuuuh,..! terlalu banyak pertanyaan yang terlahir dalam diriku saat ini. Tak terasa waktu sudah jauh beranjak malam. Perempuan yang tertidur dalam dekapanku belum juga terbangun. Kurasakan semilir angin laut menerpa wajahku. Genggaman tangan gadis yang dari tadi tidur dalam pelukanku semakin kaku, dan dingin. Aku merasakan hal yang aneh, karena bukan kehangatan yang terjadi. Lalu aku mengusap kepalanya. Dia tidak bergerak. Perlahan aku merasakan ada cairan yang mengalir, meresap pada baju kaos putih yang aku kenakan. Aku mencoba memeriksa cairan apa gerangan, dan betapa kagetnya ketika kedapati tanganku penuh dengan darah. Ternyata dia meninggal dalam pelukanku

0 komentar:

Posting Komentar