Saat Aku Memutuskan Perg

Sayang, maafkan aku yang harus meninggalkaanmu tanpa jejak. Maafkan aku yang menghilang begitu saja tanpa rambu-rambu. Maafkan tindakan ku kali ini. Aku lelah, aku letih, dan aku memilih untuk pergi menghindar dari dirimu, orang yang sampai saat ini aku sayangi.
Aku mengerti tindakan ku kali ini egois, aku sadar tindakan ku kali ini bodoh dimatamu, aku paham. Tetapi aku bisa apa? Aku tidak kuasa lagi harus menjalin hubungan denganmu, aku tak sanggup lagi, sayang. Kau salah orang untuk menguji dengan hal semacam ini. Aku terlalu lemah, aku terlalu rapuh. Aku tak bisa, sayang.  Aku tak sanggup.
Bagiku memang berat, harus memutuskan suatu hal untuk pergi meninggalkanmu. Hatiku berkata tidak rela, saat aku harus melenyapkan hubungan kita tanpa kepastian. Air mata terus mengalir hangat, saat aku menyadari engkau yang selama ini kusayangi, harus kutinggal pergi tanpa hal yang pasti.
Sayang, kesabaran ku habis untuk mempertahankanmu. Airmata sudah mengering untuk menangisi dirimu. Hati tak sanggup lagi untuk menerima semua ini. Dan terpaksa, aku harus pergi meninggalkan semua ini. Maafkan aku yang gegabah mengambil keputusan ini. Aku sungguh benar-benar tak sanggup lagi menunggumu mengerti akan perasaanku, sedikit saja. Kau tega memberiku pengabaian dengan menyembunyikan diriku untuk membahagiakan wanita lain. Kau tega! Cobalah mengerti perasaanku, cobalah mengerti situasi hatiku, saat aku melontarkan “tidak apa-apa”  dalam rentetan kata dalam inboxmu.
Aku yakin, aku percaya, satu hari tanpa ada aku dikehidupanmu, selamanya juga kau akan bisa menjalani hari tanpa hadirku. Tanpa aku, orang yang selalu menangisimu dalam diam. Tanpa aku, orang yang diam-diam memperhatikan rajutan kata manismu untuknya, bercanda ria dihadapan kedua bola mataku yang seketika pula menitikan air mata dari pelupuk mataku. Akun twittermu. Situs yang membuatku panas membara, dan berbalik bagimu, situs yang membuat engkau bahagia dengan dirinya tanpa menengok kebelakang yang ada air mata menetes untukmu. Aku ingin sepeti dia, aku ingin juga mendapatkan hal semacam kau memberi  untuknya. Romantis. Bahagia. Tetapi aku bisa apa? Engkau yang kuharapkan pun ternyata tak pernah mengerti. Engkau yang selalu kutunggu-tunggu untuk memberiku sapaan manis bermakna tinggi pun tak pernah menyadari. Ini memang pedih, dan engkau tak pernah mengeri perasaanku itu. Aku masih mencoba bertahan, aku masih tetap berteguh pada kebahagiaan. Namun sia-sia, waktu yang aku kutunggu  pun ternyata  tak pernah memberi jawaban dalam kepastian.
Sayang, aku percaya padamu kau bisa bahagia tanpa diriku. Aku yakin, kau tak akan mencariku setelah aku memutuskan untuk pergi meninggalkanmu. Aku bukan untukmu, aku bukan dunaiamu, aku bukan semestamu. Aku bukan siapa-siapa dihadapanmu. Aku tahu itu. Menyakitkan memang, saat aku harus menyadari ini semua terjadi dalam hidupku. Menggores hati memang, saat aku harus menerima perlakuanmu kepadaku yang ntah kapan berakhir sandiwara ini. Untuk itu, aku akan mengambil jalanku sendiri, jalan dimana aku harus berbelok tanpa menoreh dirimu yang selalu membayang-bayangi dan berotasi dalam ingatanku. Aku akan berusaha tegar dalam kesendirian, karena aku sudah terbiasa menjalani ini semua tanpa tuntunan lebih darimu. Beberapa waktu terakhir ini.
Sayang, bertahan dalam suatu hubungan tanpa tanggapan lebih itu menyakitkan ya. Berjuang sendiri untuk menegakan suatu ikatan itu tidak gampang ya. Aku merasakannya, dan itu sangat menyedihkan. Terimakasih atas segala ujiannya. Dan aku lebih memilih mundur perlahan. Aku menyerah, aku angkat tangan. Aku tak sanggup, aku tak bisa. Perjuanganku berakhir sia-sia. Perjuanganku berakhir dengan luka, bercampur air mata. Aku terima, sayang. Satu hal yang kuminta, tetap perjuangkan orang yang selalu membuatmu tersenyum bahagia. Dirinya, bukan diriku.

0 komentar:

Posting Komentar